Jumat, 08 Mei 2009

Penyelenggara PKPA Harus Disempurnakan

JAKARTA - Meskipun muncul keinginan membuka kelas magister advokat sebagai jalur formal menuju profesi advokat, kebijakan ini sebaiknya tidak menghapuskan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Hanya, PKPA yang selama ini sudah berjalan perlu disempurnakan dan dimutakhirkan dalam berbagai hal.


Pandangan tersebut juga mengemuka dalam Lokakarya Program Pendidikan Profesi Advokat yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara akhir Maret lalu.
Faizal Hafied, penyelenggara pendidikan PKPA sekaligus Managing Director FHP Education of Law, mengatakan pendidikan khusus profesi sebaiknya tetap dipertahankan, sekalipun magister advokat diperkenalkan. “Harapan saya, sebagai penyelenggara pendidikan, pendidikan khusus profesi tetap ada, tetap jalan,” ujarnya.
Harapan senada disampaikan Kresnami Sonyaruri, salah seorang peserta PKPA di Jakarta. Pendidikan khusus profesi semacam PKPA masih layak dipertahankan. Yang perlu dilakukan adalah penyempurnaan kurikulum dan metode pengajaran agar peserta PKPA siap menjalankan profesi advokat.
Waktu pendidikan juga perlu ditambah sehingga peserta benar-benar mendalami materi hukum, bukan semata-mata untuk persiapan ujian advokat. Selama ini peserta membutuhkan waktu 1,5 bulan untuk pendidikan khusus.
Ditambahkan Faizal Hafied, organisasi advokat harus mengukur dan mengevaluasi pendidikan profesi advokat baik melalui PKPA, atau (jika sudah diberlakukan) magister advokat. Karena itu pula, Faizal sepakat jika peserta bisa memilih jalur yang hendak ditempuh. Magister advokat justeru membuat alternatif pendidikan sangat panjang karena peserta harus kembali duduk di bangku kuliah selama dua tahun.
Peserta PKPA di Jakarta, Aditya Mashabim, kurang sependapat dengan gagasan membuat magister advokat. Advokat adalah profesi bebas dan mandiri untuk memberikan layanan jasa hukum, termasuk bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Kalau tetap dimungkinkan seseorang menjalankan profesi advokat setelah menempuh pendidikan formal magister, Abim –demikian ia biasa disapa - khawatir advokat lebih terikat pada etika akademik. Biaya besar yang dikeluarkan selama pendidikan bisa mendorong seseorang lebih berorientasi pada upaya mengembalikan uang yang telah dikeluarkan sehingga mengabaikan kewajiban memberikan bantuan hukum probono.
Senada dengan Kresnami Sonyaruri, Abim juga memandang pentingnya peningkatan kompetensi pemangku kepentingan PKPA. Termasuk penambahan waktu pendidikan khusus agar signifikan dengan kebutuhan menjalankan profesi advokat kelak.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 menyebutkan, yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat. Dalam praktik penyelenggaraan pendidikan khusus profesi, organisasi advokat bekerjasama dengan universitas atau lembaga-lembaga pendidikan.
Saat ini PKPA bukanlah degree program, dan penyelenggaraannya membutuhkan waktu relatif singkat. Apalagi dibanding magister advokat. Agar kualitas keluaran magister advokat dan PKPA sejajar, menurut Prof. Hikmahanto Juwana, perlu ada perbaikan pada penyelenggaraan PKPA. Apakah mau diseleraskan dengan pendidikan calon hakim dan calon jaksa, atau malah pendidikan kenotariatan. “PKPA perlu dimutakhirkan dan disempurnakan,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Kalau pendidikan advokat mau dijadikan degree program, maka ia harus mengikuti aturan yang digariskan UU Sistem Pendidikan Nasional, antara lain tentang akreditasi. Kesulitan lain, menurut Hikmahanto, adalah tidak semua perguruan tinggi hukum di Indonesia memiliki jenjang magister.
Karena itu, kondisi saat ini yang tepat adalah PKPA. Asalkan, “PKPA didesain untuk membuat peserta didik siap pakai tanpa perlu memberikan gelar kesarjanaan,” ujarnya.
Menurut mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, pembenahan kurikulum PKPA tidak semata memasukkan mata ajar. Hikmahanto menekankan pentingnya pembenahan pada empat hal: sistem pembelajaran, kualifikasi dan kualitas pengajar dan peserta didik, mata ajar berikut materi pengajaran, dan infrastruktur pendukung bagi pembelajaran yang dibutuhkan. (Mys/Fat-HukumOnline)



sumber:http://www.koransuroboyo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=621:penyelenggaraan-pkpa-harus-disempurnakan&catid=61:hukum&Itemid=100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar